Esai B.Indo / Michelle Olivia MP XII MIPA 3/25

Penderitaan karena Animal Testing

Animal testing atau percobaan pada hewan adalah kegiatan yang melibatkan hewan hidup sebagai objek untuk berbagai uji coba ilmiah, mulai dari penelitian biomedis, pengujian obat-obatan, hingga produk kosmetik. Hewan-hewan yang digunakan, seperti mencit, tikus putih, kelinci, hingga primata, dipilih berdasarkan karakteristik tertentu, seperti imunitas dan sensitivitas terhadap penyakit. Proses ini bertujuan untuk memastikan keamanan bahan baku dan produk, termasuk potensi iritasi atau efek sampingnya. Meski demikian, percobaan ini sering menuai kritik karena menimbulkan penderitaan pada hewan, sehingga muncul konsep 3Rs (replacement, reduction, refinement) untuk meminimalkan dampak buruknya dan memastikan pelaksanaan yang sesuai dengan etika. Animal testing tetap saja tidak boleh dilakukan karena tidak manusiawi, dapat merusak keseimbangan ekosistem, dan hasilnya kurang akurat.

Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animal (RSCPA) menyatakan terdapat sekitar 27.000 hewan yang digunakan untuk uji coba penelitian atau produk setiap tahun. Salah satu hewan asal Indonesia yang menjadi korban eksploitasi adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Pada tahun 2022, Action for Primates, organisasi advokasi primata non-manusia yang berbasis di Inggris, mengecam kegiatan ekspor monyet ekor panjang liar dari Indonesia ke Amerika Serikat. Monyet-monyet ini diperdagangkan sebagai hewan eksperimen di laboratorium.  Akibat anatomi tubuhnya yang mirip dengan manusia, monyet sering digunakan untuk menguji produk-produk kosmetik. Jenis tes yang dilakukan adalah tes iritasi mata dengan meneteskan zat kimia di mata monyet dan mengoleskan bahan kimia di kulit monyet yang sudah dicukur. Ini dapat menyebabkan iritasi, kebutaan, dan bahkan kematian. Selain itu, proses penangkapan monyet-monyet di alam juga dinilai brutal. Tidak hanya direnggut dari habitat aslinya, bayi monyet yang masih dalam usia menyusui juga dipisahkan dari ibunya dan individu-individu yang tidak diinginkan dipukul dan dibunuh secara kejam. Hewan selayaknya makhluk ciptaan Tuhan haruslah bebas dari segala bentuk penyiksaan sehingga animal testing merupakan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan.

Maraknya animal testing menyebabkan banyak binatang menjadi langka. Salah satu dari binatang tersebut yaitu monyet ekor panjang yang telah disebutkan dalam paragraf sebelumnya. Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature, monyet ekor panjang sudah dianggap terancam punah, atau endangered. Ini tidak baik untuk keanekaragaman hayati, karena ini dapat mengancam ekosistem yang ada. Beberapa akibat yang muncul adalah lebih banyak spesies makhluk hidup lain yang juga ikut terancam punah, atau yang sebaliknya terjadi yaitu suatu spesies akan memiliki populasi yang berlebih. Menggunakan monyet ekor panjang sebagai contoh lagi, monyet jenis ini memiliki fungsi sebagai predator dalam suatu ekosistem. Jika menjadi langka, maka binatang yang seharusnya dimakan bisa saja mengalami populasi yang berlebih, yang akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam ekosistem. Ada juga ketakutan bahwa penggunaan monyet untuk riset dapat menyebabkan berkembangnya dan tersebarnya penyakit pada binatang dan patogen yang berbahaya. Selain itu, sisa dari animal testing seperti binatang sisa percobaan, jarum suntik, dan bahan-bahan sisa lainnya yang dibuang juga bersifat beracun dan berbahaya. Membakar sisa dari animal testing juga bukan solusi yang baik, karena itu tetap akan menyebabkan polusi udara. Air dalam tanah juga bisa terkontaminasi karena sisa-sisa animal testing yang secara tidak sadar masuk ke dalam tanah. 

         Hasil yang didapatkan dari animal testing juga belum tentu akurat. Manusia dan hewan memiliki perbedaan secara fisiologis, anatomi, dan genetik sehingga reaksi yang didapatkan dari suatu zat kimia akan berbeda antara manusia dan hewan. Manusia juga memiliki lebih banyak variabel yang menentukan reaksi suatu zat ke tubuh seperti kulit sensitif, kulit normal, pengidap asma, dan sebagainya, dimana hewan yang digunakan dalam uji coba hanya hewan yang sehat tanpa kriteria lain. Jumlah hewan yang menjadi korban animal testing tidak sebanding dengan hasil temuan bahan yang disetujui oleh drug regulator yang jumlahnya hanya 25 bahan baru setiap tahun. Michelle Thew sebagai bagian dari organisasi Cruelty Free International menjelaskan penggunaan hewan dalam uji coba kosmetik ialah metode yang kurang akurat hasilnya, sebab animal testing hanya mampu memberikan human reaction sebesar 40-60%, sedang 40 alternatif non-animal tests dapat memberikan human reaction hingga 80% sehingga tes yang dihasilkan dapat relevan dan valid digunakan. Menurut Azlazali pada Female Daily Editorial, praktek uji coba hewan dalam penggunaan kosmetik memiliki kelemahan berupa hasil yang tidak akurat terdapat 5% – 25% obat yang cocok dengan manusia setelah diujikan dengan hewan, 83% zat yang diuji dimetabolisme berbeda oleh hewan dan manusia, 88% obat-obatan belum tentu aman bagi manusia meskipun telah lulus pengujian hewan, dan 40 % pasien menunjukkan efek samping penggunaan obat-obatan yang lulus pengujian hewan.


Animal testing, meskipun bertujuan untuk memastikan keamanan produk, menimbulkan berbagai dampak negatif yang tidak dapat diabaikan. Dari segi etika, praktik ini sering melibatkan kekejaman terhadap hewan, seperti monyet ekor panjang, yang mengalami penyiksaan hingga kematian. Dari segi lingkungan, animal testing berkontribusi pada penurunan populasi hewan yang terancam punah, mengganggu keseimbangan ekosistem, dan mencemari lingkungan dengan limbah beracun. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengurangi atau menggantikan animal testing dengan metode yang lebih etis dan ramah lingkungan, demi keberlanjutan ekosistem dan lebih manusiawi.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *